Laman

Sabtu, 17 September 2011

Dibawah Lindungan Ka'bah

Telat (banget) sih sebenarnya aku nonton film ini (Dibawah Lindungan Ka'bah), karena memang baru memiliki waktu hari ini. Film ini sendiri rilis tanggal 25 Agustus 2011 (kalo ga salah), Film yang dibintangi oleh Herjunot Ali, Claudya Cintya Bella, Widyawati, Dedi Petet, Leroy Usmani dan lain-lain  ini based on novel karya Buya Hamka dengan judul yang sama. 

Semula kupikir film ini akan menjadi "sesuatu" (tak perlu bergaya seperti Syahrini) tapi rupanya apa yang aku sangka diluar perkiraan. Film ini tak "sehebat" novelnya yang merupakan harta karun kesusasteraan Indonesia. Aku memang bukan pemerhati film, pun tak terlalu mengerti mengenai hal yang berkaitan dengan dunia perfilman, hanya saja karena aku pernah membaca novelnya jadi merasa sedikit kecewa dengan film tersebut.
Film ini tak lebih seperti jualan kisah cinta Hamid dan Zainab sebagai bagian dari karya asli HAMKA yang dipoles dengan segala klise bumbu love story terlarang akibat beda status sosial yang mengharu biru ala Indonesia ditambah sedikit bumbu dakwah untuk mendukung peredarannya di momen lebaran.Dan menonton film ini terus terang membuatku mengantuk dan  bosan. 

Ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam film ini yang menurutku kurang pas diantaranya:
  1. Dialek. Memang dibeberapa dialog terdapat istilah-istilah bahasa minang seperti duo (dua), waang (kamu) dan lain-lain tapi secara keseluruhan dalam film ini hampir tidak ada dialek minang, para pemain memilih bahasa  baku ala novel, dan itu konyol sekali, bagaimana mungkin film yang bersetting di Padang tapi tidak menggunakan dialek dan bahasa minang??
  2. Iklan. Dibeberapa bagian film ini diselipkan iklan terselubung yang bagi saya sangat mengganggu dan lucu, pada durasi 5 menit pertama sudah terlihat iklan chocolatos, kemudian Hamid yang membeli kacang garuda dan Zainab yang memasang obat nyamuk bakar Baygon di kamarnya, memang produk-produk tersebut dikemas dengan ejaan dan bungkus yang seolah-olah atau setidaknya mengisyaratkan itu adalah produk tahun 1920an, pertanyaan saya adalah apakah memang perusahaan-perusahaan produk sponsor tersebut telah berdiri sejak tahun 1920? sungguh sesuatu hal yang dipaksakan!!
  3. Skenario yang terlalu dipaksakan. Sebagai film yang "based on", seharusnya film ini bukan hanya sekedar meminjam dialog, namun esensinya harus tertuang walau plotnya diubah sedemikian rupa. Hal yang aneh juga buatku adalah saat Hamid menolong zainab yang tenggelam dengan melakukan bantuan pernafasan buatan dengan mouth to mouth ventilation hingga zainab dapat terselamatkan, sedangkan cara itu (seperti yang aku baca) katanya baru dilakukan di luar negeri pada era Perang Dunia, bagaimana mungkin Hamid sudah mengetahui bantuan keselamatan dengan cara seperti itu? adakah satu atau beberapa bukti sejarah medis yang menunjukkan bahwa mouth to mouth ventilation telah sampai di Indonesia pada saat itu??
  4. Setting. Memang film tersebut menampilkan keindahan minangkabau yang mempesona, akan tetapi kincir angin itu, bukankah terdapat pula dalam film Hanny R Saputra sebelumnya yaitu love story? dan menurutku setting film itu kurang pas untuk menggambarkan situasi minangkabau pada saat itu (tahun 1920).
  5. Aktor dan aktris. Bella maupun Herjunot rasanya kurang pas untuk memerankan Zainab dan Hamid (walaupun diakui mereka menampilkan acting yang luar biasa bagusnya). Atau barangkali Sutradara tidak mampu menyajikan chemistry antara Hamid dan Zainab, sehingga adegan-adegan yang seharusnya menjadi sesuatu yang romantis malah terasa garing dan dipaksakan. Adegan yang terbaik menurutku adalah tentang hubungan Hamid dengan Ibunya (Junot dengan Jenni Rahman), Junot misalnya, menampilkan acting yang luarbiasa saat ibunya meninggal, dia menangis sedemikian lepas. (dan membuatku menangis bombay) hehe
Begitulah cerita hari ini, catatan kecil ini mungkin karena kekecewaan saya sebagai orang awan yang sangat menyukai karya-karya Buya Hamka. ^_*

#catatan orang yang ga ngerti film#

13 komentar:

  1. wah kritis juga mbak yg satu ini...
    sayang saya kurang suka nonton film, gak betah duduk berlama2nonton film..., suka gak konsen, pikiran dah lari kesana-kemari gak mau berhenti.., tapi boleh juga catatannya yg bernada kritik membangun, moga para sutradara membaca tulisan ini, agar lebih jeli mensetting sin demi sin...

    BalasHapus
  2. Wuahahaa..
    bener2 kritis..
    tapi bener tuh..
    maksa banget..masa ada chocolatos tahun segitu ?
    hahahaha

    tapi blm sempat juga sih nonton ini film.
    hmmm

    BalasHapus
  3. saya tidak tahu tentang perfilman apalagi mau jadi kritikus, yang saya tahu semua karya dari Buya Hamka sangat kental dengan nafas dan ajaran Islam serta penuh dengan syiar Islam :) jadi kalau yang buat film dan juga para artis filmnya bukanlah penganut agama Islam yang sama levvelnya dengan Buya Hamka, maka yakinlah film yang dibuat akan sangat jauh perbedaannya dengan karya tulis Buya Hamka itu sendiri, bahkan syiar Islam-nya seakan-akan tidak dinampakkan :) salam

    BalasHapus
  4. Betul tuh, semua kritiknya. Agak sedikit dipaksakan. Ini juga efek dari membaca novel dulu baru nonton. Pasti bakalan kecewa akhirnya. Makanya kalau udah baca novel, jangan terlalu berharap nonton movienya karena novel segitu tebal dibuat movie yang ditayangkan sebentar :)

    BalasHapus
  5. @Mas Insan: hehehe.. sebenarnya aku juga ga terlalu suka nonton, cuma sekali-kali aja, itu pun kalo ada film yang direkomendasikan oleh temen-teman atau diajak nonton oleh teman-temanku, baru saya nonton. Beberapa temen rekomendasiin film ini n karena saya suka karya buya hamka, jadinya saya penasaran.. dan ternyata jauh dari ekspektasi saya tentang film ini.

    @Uchank: coba deh nonton.... iklannya itu benar-benar mengganggu hehehe

    @Bang Hariyanto: betul sekali.. saya setuju bnget.. sayang sekali memang, novel sebagus itu yang seharusnya menjadi syiar, malah menjadi tak menarik karena skenario dan setting yang dipaksakan :)

    @Reza: hehehe iya juga sih masalahnya saya penasaran apakh filmnya sebagus novelnya, soalnya beberapa film seperti ayat-ayat cinta atau sang pencerah, walaupun ceritanya based on novel tapi ketika difilmkan, esensi yang terdapat dalam novel itu "dapet" ga terlalu jauh melenceng seperti film tersebut.. :)

    BalasHapus
  6. satu lagi mbak...masa jaman bgitu sudah ada resusitasi mouth to mouth ventilation...heheh, but maju trus perfilman Indonesia^^

    BalasHapus
  7. @phuji: iya betuuuull...

    @blog: hehehehe..

    trims sudah berkunjung..

    BalasHapus
  8. wah...belum liat tapi pingin ....:)

    BalasHapus
  9. baru baca catatannya mbak tie, rasanya udah ngantuk duluan.. heheheheh

    BalasHapus
  10. @iffa: coba deeh.. kalo ada kesempatan liat, cuma ga jamin deehh..

    @andro: ngantuk baca catatannya atau ngantuk nonton film nya?? heehehe

    BalasHapus
  11. pengen liat jadi ga pengen...
    kalo novelnya dah pernah baca sih.
    Thanks ulasannya.

    BalasHapus

Yuukk di komen-komen yaa...