Laman

Sabtu, 14 Januari 2012

Menjadi apatis atau idealis

beberapa hari lalu klien kami (klien tetap) datang ke kantor untuk mengurus dokumen pertanahannya, setelah menyelesaikan tanda terima dokumen, aku tanya-tanya permasalahannya. Usut punya usut dia memiliki sebidang tanah yang belum memiliki PBB dan sertipikat, dia bercerita bahwa dia "malas" untuk bayar PBB karena dalam setahun dia dikenakan pajak sebesar Rp. 6.000.000,00 untuk kurang lebih tanah seluas 3.450 m2, dan pernah pula dia didatangi oknum orang pajak yang katanya bersedia untuk mengurus PBB nya tapi klien kami harus membayar sebesar Rp. 500.000.000,00. Sangat mahal sekali karena perkiraan harga tanah itu kalaupun dijual paling laku 1 M, menurut dia.


sampailah dia sharing mengenai hiruk pikuk politik saat ini, harga-harga yang sedemikian melambung tinggi dan segudang kekecewaan lainnya. Dia berkata sangat berat sekali dengan kenaikan harga beras yang mencapai Rp.9.000,00 perkilo gram (dia aja yang kaya raya keberatan, apalagi aku yang cuma seorang pegawai swasta..), gajinya yang PNS yang ga naik-naik (menurut beliau yang seorang dokter gigi) --beliau kira gaji saya naik setiap tahun kaliii --- dan keluhan-keluhan lainnya. Lalu dia membandingkan kondisi sosial ekonomi di sini dengan keadaan sodara-sodaranya di Jerman, katanya di Jerman itu enak, birokrasi ga berbelit-belit, pengangguran mendapat uang santunan dari pemerintah, dan lain sebagai-sebagai nya. Dalam hal ini aku cuma bisa senyum aja, wong aku belum pernah ke Jerman (xixixixi). Sambil mikir dalam hati, lhoo kalo di Jerman enak, kenapa si ibu ga tinggal di Jerman aja bersama sodara-sodara, kenapa si ibu masih betah tinggal di Indonesia??

Lucu, aneh, namun aku merasa bahwa si ibu cukup beralasan untuk mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Hemm begitulah faktanya di masyarakat, ga kaya atau (apalagi) miskin semua mengeluhkan kondisi sosial ekonomi yang tak pernah ada kemajuan (dan mungkin ga akan pernah ada keberpihakan pada masyarakat). Soe Hoek Gie dalam Catatan Seorang Demonstran mengatakan bahwa kita hidup di Indonesia itu hanya dengan 2 cara, 1) apatis atau 2) idealis, terserah kita mau memilih yang mana. Apakah kita mau menjadi apatis atau menjadi idealis.

Dan aku? entah, aku mungkin termasuk orang yang apatis, bukannya tidak peduli tapi aku bisa berbuat apa untuk merubah keadaan negara? Presiden pun yang memiliki kewenangan tak mampu berbuat apa-apa, apalagi aku yang hanya seorang ibu rumah tangga. Yang pasti aku hanya berbuat semampu yang aku lakukan, untuk diriku, untuk keluargaku, untuk lingkungan terdekatku (begitu apatis, bukan?) selebihnya biarlah Pemerintah yang berbuat.

4 komentar:

  1. hahahaha.. mending hidup di Jerman Aja yah...
    Apatis atau Idealis.. menurutku Mbak Tie gak apatis koq (jika mengacu pada pilihan yang diberikan Soe..) kalimat "Yang pasti aku hanya berbuat semampu yang aku lakukan, untuk diriku, untuk keluargaku, untuk lingkungan terdekatku" adalah sebuah ungkapan optimis dan bisa jadi Idealis.. :D (semua berawal dari yang kecil-kecil) :)

    BalasHapus
  2. hehehehe... ga tau juga yaa.. disebut apatis, mungkin engga, disebut idealis apalagi jauh sekali..

    yaaah aku hanya bisa berbuat semampu yang aku lakukan. thats it! cukup bukan??

    terimakasih abang sudah berkunjung.. :)

    BalasHapus

Yuukk di komen-komen yaa...