Matahari seperti enggan menyapa ketika kami tiba di perbatasan Kabupaten Bandung Cianjur, tepatnya di Kecamatan Rancabali. Kabut yang turun menghalangi pandangan dan memberikan rasa dingin yang menusuk tulang, padahal waktu menunjukkan pukul 13.30. Hamparan pucuk-pucuk teh yang menghijau nampak kedinginan, didepan jalanan nampak berasap, kabut-kabut itu menggelayut manja di cakrawala.
Aku menghirupsebanyak-banyaknya udara segar, asap keluar dari mulut kami akibat cuaca dingin. Segar menyeruak dari rongga dada. Dingin ini mempesona, dingin ini menyegarkan.
Perbatasan Bandung yang kulewati kali ini sepertinya sedang bersedih, awan hitam menggunung seperti hendak menumpahkan isinya, sedikit tergesa, karena takut hujan segera memangsa. Mengapa mesti takut hujan? Mengapa mesti menghindari air?
Sejujurnya aku mencintainya, mencintai rinai hujan yang selalu kunikmati dari jendela tapi kali ini tidak, sebab rasa dinginnya seakan merontokkan seluruh persendian dan tulang-tulang, belum lagi perubahan cuaca yang terjadi di selatan sana yang hampir selalu terang benderang. Beruntung ketika Rancabali kulewati, awan berbaik hati menunda menumpahkan isi hatinya, jadilah kami kini menikmati terangnya mentari di Kabupaten Cianjur yang sedang terik-teriknya. Sungguh kontras, dalam 30 menit kami menikmati cuaca yang berbeda. Dingin yang menusuk tulang dan panas yang membakar.
Begitulah perjalanan kali ini dengan perubahan cuaca yang sangat ekstrim kami lewati dengan senang hati.
Alam memberi keindahan yang luar biasa, memberi pesona dan kesederhanannya membuat kita tak henti-hentinya mengagumi seluruh ciptaanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuukk di komen-komen yaa...